Oleh : ABDUL HAMID AL BILALY
SYUBHAT
KEDUA: BELUM MANTAP
Hal
ini lebih tepat digolongkan kepada syahwat dan menuruti hawa nafsu dari pada
syubhat. Jika seorang muslimah yang belum mentaati perintah berhijab ditanya,
mengapa ia tidak mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab, “Demi Allah,
saya belum mantap dengan berhijab. Jika saya telah merasa mantap dengannya saya
akan berhijab, Insya Allah”.
Ukhti
yang berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal.
Yakni antara perintah Tuhan dengan perintah manusia.
Jika
perintah itu datangnya dari manusia, maka manusia bisa salah, bisa benar. Imam
Malik berkata:“ dan setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak,
kecuali (perkataan) orang yang ada di dalam kuburan ini”. Yang dimaksudkan
adalah Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam.
Selagi
masih dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk
menerima. Karenanya, dalam hal ini, setiap orang bisa berucap,“belum mantap”
dan ia tidak dihukum karenanya.
Adapun
jika perintah itu merupakan salah satu dari perintah-perintah Allah, dengan
kata lain Allah yang memerintahkan di dalam kitab-Nya, atau memerintahkan hal
tersebut melalui Nabi-Nya agar disampaikan kepada umatnya, maka tidak ada
tempat bagi manusia untuk mengatakan, “saya belum mantap”.
Bila
ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan padahal ia sendiri tahu
bahwa perintah tersebut ada di dalam kitab Allah Ta’ala maka hal tersebut berpotensi untuk
menyeretnya kepada bahaya yang lebih sangat besar, yakni keluar dari agama
Allah, sementara dia tidak menyadarinya. Sebab dengan begitu berarti ia tidak
percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut, maka itu adalah ungkapan
yang sangat berbahaya.
Seandainya
ia berkata: “Aku wanita kotor” aku tak kuat melawan nafsuku,” “jiwaku rapuh”
Atau hasratku untuk itu sangat lemah” tentu ungkapan-ungkapan ini dan yang sejenisnya tidak bisa disejajarkan
dengan ucapan: “Aku belum mantap” sebab ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pengakuan atas kelemahan, kesalahan dan kemaksiatan
dirinya, ia tidak menghukumi dengan salah atau benar terhadap perintah
–perintah Allah secara semaunya. Juga tidak termasuk yang mengambil perintah
Allah dan mencampakkan yang lain.
Allah berfirman :
“Tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, kesesatan yang nyata.” (QS.Al Ahzab: 36).
1.
Sikap yang dituntut.
Ketika
seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya Allah lebih bijaksana dan
lebih mengetahui dalam penetapan hukum dari padanya -sementara dia sangat miskin
dan sangat lemah– maka jika telah datang perintah Allah tidak ada lagi pilihan
baginya kecuali mentaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah,
sebagai seorang mukmin atau mukminah, mereka wajib mengatakan sebagaimana yang dikatakan
oleh orang-orang yang beriman.
“Kami dengar dan kami taat (mereka berdo’a)
Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al
Baqarah: 285).
Ketika
Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa
perintah itu untuk kebaikan kita, dan salah satu sebab bagi tercapainya
kebahagiaan kita. Demikian pula halnya dengan ketika memerintah wanita
berhijab, Dia Maha Mengetahui bahwa ia adalah salah satu sebab bagi tercapainya
kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.
Allah
Ta’ala Maha Mengetahui Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, mengetahui sejak
sebelum manusia diciptakan, juga
mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang dengan tanpa batas, mengetahui
apa yang tidak akan terjadi dari berbagai peristiwa, juga Dia mengetahui andaikata peristiwa tersebut terjadi apa yang
terjadi selanjutnya.
Dengan
kepercayaan seperti ini, yang merupakan keyakinan kita umat Islam, apakah patut
dan masuk akal kita menolak perintah
Allah yang Maha Luas Ilmu-Nya, selanjutnya kita menerima perkataan manusia yang
memiliki banyak kekurangan, dan ilmunya sangat terbatas.
2.
Contoh dari
kenyataan sehari-hari.
Sebagai
contoh, dapat kita kemukakan dari kenyataan hidup sehari-hari. Bila kita
membeli unit komputer sementara orang yang membuatnya ada di dekat kita, dia tahu betul bagaimana
mengoperasikannya, memahami dari A sampai Z seluk-beluk alat canggih tersebut,
maka logiskah jika kita memanggil tukang cuci mobil untuk mengajari kita cara
mengoperasikan komputer? Tentu sangat tidak logis. Akal kita akan mengatakan,
bahwa kita mesti memanggil ahli komputer untuk mengajari bagaimana cara
penggunaan alat tersebut, berikut cara memperbaikinya jika terjadi kerusakan.
Kita
meyakini, yang menciptakan manusia dan membentuknya adalah Tuhan manusia, yaitu
Allah. Karena itu sangat wajar, jika Allah yang sangat lebih mengetahui tentang
apa yang membahayakan dan memberi manfaat manusia. Dan jelaslah, bertahkim,
patuh, dan menyerah kepada selain Allah adalah cermin ketidak-warasan,
kebodohan, dan kedunguan. Kandungan ini disebabkan karena kita patuh kepada
seseorang yang tidak mengetahui. Barangsiapa yang mengambil nasihat orang bodoh
berarti dia menggelincirkan dirinya dalam kebinasaan.
Ironinya,
inilah yang terjadi pada kita kaum muslimin, betapa banyak kaum muslimin yang
menuntut jawaban dari orang yang tidak mengetahuinya. Sebagaimana betapa banyak
dari kalangan kita yang tidak memahami bahwa yang dimaksud kata “Islam” adalah
menyerah, patuh dan tunduk secara total kepada perintah-perintah Allah dan
larangan-larangan-Nya.
3.
Ukhti, jangan terjerumus pada
pertentangan.
Tatkala engkau menasehati sebagian ukhti yang
belum berhijab, sebagian mereka ada yang menjawab: “saya juga seorang muslimah,
selalu menjaga shalat lima
waktu dan sebagian shalat sunnah, saya puasa Ramadhan dan telah melakukan haji,
berkali-kali pula saya umrah, aktif sebagai donatur pada beberapa yayasan
sosial, tetapi saya belum mantap dengan berhijab”.
4. Pertanyaan buat Ukhti:
“Kalau
memang anda sudah dan selalu melakukan amalan-amalan terpuji, yang berpangkal
dari iman, kepatuhan pada perintah Allah serta takut siksa-Nya jika
meninggalkan kewajiban-kewajiban itu, mengapa anda beriman kepada sebagian dan
tidak beriman kepada sebagian yang lain, padahal sumber perintah-perintah itu
adalah satu ?
Sebagaimana
shalat yang selalu anda jaga adalah suatu kewajiban, demikian juga halnya
dengan hijab. Hijab itu wajib, dan kewajiban itu tidak diragukan adanya dalam
Al Kitab dan Sunnah. Atau apakah, anda tidak pernah mendengar cercaan Allah
terhadap Bani Israil, karena mereka melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian yang lain?
Secara
tegas, dalam hal ini Allah berfirman
“Apakah
kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang
lain? Tidakkah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada
siksa yang sangat pedih, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85).
Selanjutnya,
renungkan hadits shahih berikut ini:
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling
ringan siksanya pada hari kiamat adalah orang yang diletakkan di tengah kedua
telapak kakinya dua bara api, dari dua bara api ini otaknya mendidih,
sebagaimana periuk yang mendidih dalam bejana besar yang dipanggang dalam
kobaran api.
Jika
seperti ini adzab yang paling ringan pada hari kiamat, lalu bagaimana adzab
bagi orang yang diancam oleh Allah dengan adzab yang amat pedih, sebagaimana
disebutkan dalam ayat ini. Yakni bagi orang yang beriman kepada sebagian ayat
dan meninggalkan sebagian yang lain?
6. Wahai Ukhti …:
Apakah
hanya demi penampilan, kabanggaan dan saling unggul-mengungguli di dunia, lalu
anda rela menjual akhirat dan siap menerima adzab yang pedih?
Sungguh
kami tidak berharap untuk ukhti, melainkan kebaikan di dunia dan akhirat. Kami
minta agar ukhti, mau menggunakan akal sehat dan menentukan pilihan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar