Oleh : ABDUL HAMID AL BILALY
SYUBHAT
KEEMPAT: ALLAH BELUM MEMBERIKU HIDAYAH.
Pada
akhawat yang tidak berhijab banyak yang berdalih: "Allah belum memberiku
hidayah. Sebenarnya aku juga ingin berhijab, tetapi hendak bagaimana jika saat
ini Allah belum memberiku hidayah? Do’akanlah aku agar segera mendapat
hidayah!”
Ukhti
yang berdalih seperti ini telah terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Kami
ingin bertanya: “bagaimana engkau mengetahui bahwa Allah belum memberimu
hidayah?
Jika
jawabannya, “Aku tahu”, maka ada satu dari dua kemungkinan:
Pertama:
Dia mengetahui ilmu ghaib yang ada di dalam kitab yang tersembunyi (lauhul
mahfudz). Dia pasti pula tahu bahwa dirinya termasuk orang-orang yang
celaka dan bakal masuk neraka.
Kedua : Ada
makhluk lain yang mengabarkan kepadanya tentang nasib dirinya, bahwa dia tidak
termasuk wanita yang mendapatkan hidayah. Bisa jadi yang memberi tahu itu
malaikat ataupun manusia.
Jika
kedua jawaban itu tidak mungkin adanya, bagaimana engkau mengetahui bahwa Allah
belum memberimu hidayah? Ini satu masalah.
Masalah
lain adalah, Allah telah menerangkan dalam Kitab-Nya, bahwa hidayah itu ada dua
macam. Masing-masing adalah hidayah dilalah dan hidayah taufiq.
1.
HIDAYAH DILALAH
Ini
adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran. Dalam hidayah ini, terdapat
campur tangan dan usaha manusia, di samping hidayah Allah dan bimbingan Rasul-Nya.
Allah telah menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia yang mukallaf, juga dia
telah menunjukkan jalan kebatilan yang menyimpang dari petunjuk para rasul dan
Kitab-Nya. Para rasulpun telah menerangkan
jalan ini kepada kaumnya. Begitu pula para da’i. Mereka semua menerangkan jalan
ini kepada manusia. Jadi semua ikut ambil bagian dalam hidayah ini.
2.
HIDAYAH TAUFIQ
Hidayah
ini hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya (dalam pemberi hidayah
taufiq ini). Ia berupa peneguhan kebenaran dalam hati, penjagaan dari
penyimpangan pertolongan agar tetap meniti dan teguh di jalan kebenaran,
pendorong kepada kecintaan iman. Pendorong kepada kebencian terhadap kekufuran,
kefasikan dan kemaksiatan.
Hidayah
taufiq diberikan kepada orang yang memenuhi panggilan Allah dan mengikuti
petunjuk-Nya.
Jenis
hidayah ini datang sesudah hidayah dilalah. Sejak awal, dengan tidak
pilih kasih, Allah memperlihatkan kebenaran kepada semua manusia. Allah
berfirman:
“Dan
adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih
menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.”
(QS. Fushishilat: 17).
Dan
untuk itu, Allah menciptakan potensi dalam diri setiap orang mukallaf untuk
memilih antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Jika dia memilih jalan kebenaran
menurut kemauannya sendiri maka hidayah taufiq akan datang kepadanya. Allah
berfirman:
“Dan
orang-orang yang melakukan petunjuk, Allah (akan) menambah petunjuk kepada
mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (QS. Muhammad: 17).
Jika
dia memilih kebatilan menurut kemauannya sendiri, maka Allah akan menambahkan
kesesatan kepadanya dan Dia mengharamkannya mendapat hidayah taufiq, Allah
berfirman:
“Katakanlah:
barangsiapa yang berada dalam kesesatan, maka biarlah Dzat yang Maha Pemurah
menambahi baginya (kesesatan).” (QS. Maryam:
75).
“Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran) Allah memalingkan hati mereka.”
(QS. Ash Shaf: 5).
3.
PERUMPAMAAN HIDAYAH
TAUFIQ:
Syaikh
Asy Sya’rawi memberikan perumpamaan yang amat mengena tentang hidayah taufiq
ini, dan itu merupakan sunnatullah. Beliau mengumpamakan dengan
seseorang yang menanyakan suatu alamat. Orang itu pergi ke polisi lalu-lintas
untuk menanyakan alamat tersebut. Lalu polisi menyarankan: “anda bisa berjalan
lurus sepanjang jalan ini, sampai di perempatan anda belok ke kanan,
selanjutnya ada gang, anda belok ke kiri, di situ anda mendapatkan jalan raya.
Di seberang jalan raya tersebut akan terlihat gedung dengan pamplet besar,
itulah alamat yang anda cari”.
Orang
tersebut dihadapkan pada dua pilihan, percaya kepada petunjuk polisi atau
mendustakannya. Jika percaya kepada polisi, ia akan segera beranjak mengikuti
petunjuk yang diterimanya. Jika berjalan terus sesuai dengan petunjuk polisi,
ia akan semakin dekat dengan tempat dan alamat yang ia inginkan.
Jika
dia tidak memepercayai saran polisi itu bahkan malah mengumpatnya sebagai
pendusta, sehingga ia berjalan menuju arah yang berlawanan, maka semakin jauh
dia berjalan, semakin jauh pula kesesatannya. Itulah perumpamaan petunjuk dan
kesesatan ([1]).
Ini
merupakan perumpamaan yang tepat untuk mendekatkan pengertian sunnatullah
ini. Siapa yang memilih kebenaran, maka Allah akan menolong dan meneguhkannya,
dan siapa yang memilih kebatilan, Allah akan menyesatkannya dan membiarkannya
bersama setan yang menyertainya.
4.
CARILAH SEBAB-SEBAB
HIDAYAH, NISCAYA ANDA MENDAPATKANNYA.
Itulah
sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Allah berfirman:
“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat
penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah.” (QS. Al Fathir: 43).
Adapun
sunnatullah dalam perubahan nasib, hanya akan terjadi jika manusia
memulai dengan mengubah terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu mengupayakan
sebab-sebab perubahan yang dimaksudnya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’ad:
11).
Maka
orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo’akan
dirinya agar mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang
bisa menghantarkannya mendapat hidayah tersebut.
Dalam
hal ini, terdapat teladan yang baik pada diri Maryam, suatu hari, dia amat
membutuhkan makanan. Padahal ketika itu, ia dalam kondisi yang sangat lemah
seperti yang biasa terjadi pada wanita yang hendak melahirkan. Lalu Allah
memerintahkannya untuk melakukan suatu usaha yang orang laki-laki paling kuat
sekalipun tidak akan mampu melakukannya. Maryam diminta untuk
menggoyang-nggoyangkan pangkal pohon korma, meskipun pangkal pohon korma itu
sangat kokoh dan sulit untuk digoyang-goyangkan. Allah berfirman:
“Dan
goyanglah pangkal pohon korma itu."
(QS. Maryam: 25).
Maryam
tidak mungkin mampu menggoyang pangkal pohon korma, sementara dia dalam kondisi
yang amat lemah. Itu hanya dimaksudkan sebagai usaha mencari sebab dengan cara
meletakkan tangannya di pohon korma. Dengan begitu terpenuhilah hukum kausalitas
dan sunnatullah dalam hal perubahan. Maka hasilnya adalah:
“Pohon
itu akan menggugurkan buah korma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25).
Inilah
sunnatullah dalam perubahan. Tidak mungkin orang mukmin terus-menerus di dalam
masjid, bahkan meskipun di Masjidil Haram dengan hanya duduk dan beribadah
kepada Allah, seraya mengharap rizki dari Allah. Tentu Allah tidak akan
mengabulkannya tanpa dia sendiri mencari sebab-sebab rezki tersebut. Langit tak
mungkin sekonyong-konyong menurunkan hujan emas dan perak.
Karena
itu, wahai ukhti, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya anda
mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah. Di antara usaha itu adalah berdo’a
agar mendapatkan hidayah, memilih teman yang shalihah, selalu membaca,
mempelajari dan merenungkan kitab Allah, mengikuti majlis-majlis dzikir dan
ceramah agama, membaca buku-buku tentang keimanan dan sebagainya.
Tetapi,
sebelum melakukan semua itu, hendaknya terlebih dahulu engkau meninggalkan
hal-hal yang bisa menjauhkanmu dari jalan hidayah. Seperti teman yang tidak
baik, membaca majalah-majalah yang tidak mendidik, menyaksikan
tayangan-tayangan televisi yang membangkitkan perbuatan haram, bepergian tanpa
disertai mahram, menjalin hubungan dengan para pemuda (pacaran), dan hal-hal
lain yang bertentangan dengan jalan hidayah.
Mba Rania, ijin Copas lagi ya :)
BalasHapus