Selasa, 16 Oktober 2012

Saudariku, Maukah Engkau Menjadi Seorang Ratu?

Seseorang bertanya :Kenapa Islam menganggap wanita seperti narapidana (tidak bebas keluar),harus ditutup tubuh dan kepalanya (padahal panas), juga tidak boleh laki-laki menyentuhnya, bukankah itu seperti zaman jahiliyah?


Dijawab : Karena Islam menganggap wanita ibarat Ratu. Tidak sembarang orang bisa bertemu, melihat dan menyentuh seorang Ratu. Seorang Ratu juga tidak seperti kuli yang harus kerja berat, tidak seperti artis atau wanita malam yang mengobral kecantikan dan tubuhnya. Seorang Ratu cukup diam dalam singgasana kerajaannya, melayani dan mendampingi Rajanya

Orang-orang kafir hanya menghormati wanita jika wanita tersebut adalah seorang Ratu Bangsawan yang terhormat. Bagi yang pernah melihat film-film kerajaan pasti tahu bagaimana rakyat menghormati ratunya. Jika seorang ratu keluar dari kerajaannya, maka dia ditutupi oleh hijab/tabir, baik tatkala berjalan maupun naik kendaraan, dan rakyatnya malu dan takut untuk menatap wajah ratunya. Jika menatap saja tidak diperbolehkan oleh undang-undang kerajaan, apalagi menyentuhnya? Dengan begitu, ratu tersebut menjadi sangat terhormat di mata rakyatnya. Dan islam telah menjadikan wanita-wanita muslimah semuanya ibarat seorang ratu yang sangat dihargai dan dihormati. Maka islam mengatur tentang muamalah para wanita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An Nuur: 31).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah.” (QS. Al Ahzab: 33).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Bahkan kalau tahu keadaan wanita pada zaman jahiliyah dulu, mirip sekali dengan zaman ini, dan tidak seperti dalam ajaran Islam untuk menghargai wanita. Dahulu di zaman Jahiliyah, wanita-wanita yang berhijab (menutup auratnya) hanyalah dari kalangan bangsawan atau wanita terhormat saja. Wanita zaman jahiliyah juga dijadikan pekerja-pekerja seperti para laki-laki, mirip dengan emansipasi wanita pada zaman sekarang. Belum lagi mereka banyak yang dijual atau dijadikan budak-budak untuk memenuhi syahwat para laki-laki hidung belang, sedangkan zaman sekarang tidak beda halnya, yaitu banyaknya tempat-tempat lokalisasi dimana-mana. Pada zaman Jahiliyah, wanita-wanita dijadikan pertunjukan atau dipertontonkan dari kecantikan dan tubuhnya untuk hiburan orang-orang, sedangkan di zaman sekarang juga sama, seperti para artis-artis yang menjual dan mempertontonkan kecantikan serta tubuhnya di film, sinetron, musik dan majalah-majalah. Manakah yang lebih menghargai wanita??? Islam, zaman Jahiliyah, zaman sekarang, emansipasi wanita atau HAM????


Kondisi wanita di zaman Jahiliyah [1] :
- Masyarakat Jahiliyah konon menganggap wanita sebagai sumber kecelakaan dan malapetaka. Kelahiran seorang bayi perempuan mereka anggap sebagai kesialan. Tak berhenti sampai di situ, mereka kadang menangani si mungil yang tak berdosa itu dengan penuh kebengisan… benar, sebagian dari mereka bahkan tega menguburnya hidup-hidup![2]
- Wanita tak memiliki hak sedikitpun terhadap harta warisan.
- Mereka tak sudi untuk makan dan minum bersamanya selama ia haidh.
- Bagi mereka, cerai tidak ada batasannya. Seorang suami boleh mencerai isterinya semaunya, namun saat masa iddahnya hampir selesai ia merujuknya, dan demikian seterusnya agar wanita malang ini tetap tersiksa dan terlunta-lunta.
Riwayat-riwayat berikut menjelaskan kepada kita bagaimana sebenarnya kondisi wanita Arab di zaman Jahiliyah. Umar bin Khatthab mengatakan:

وَاللَّهِ إِنْ كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَا نَعُدُّ لِلنِّسَاءِ أَمْرًا حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِنَّ مَا أَنْزَلَ وَقَسَمَ لَهُنَّ مَا قَسَمَ

Demi Allah, semasa Jahiliyyah kami tak pernah menganggap wanita punya kedudukan apapun, hingga Allah menurunkan ayat-ayat tentang mereka dan menetapkan bagi mereka harta warisan.[3]
Dalam menjelaskan sebab turunnya surat An Nisa ayat 19[4], Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu, bila seorang laki-laki ditinggal mati oleh saudara atau ayahnya, maka ialah yang paling berhak terhadap istri si mayit. Ia boleh memiliki wanita tersebut, atau mengurungnya dalam rumah hingga menebus dirinya seharga mahar yang dahulu diterimanya, atau dibiarkan sampai mati kemudian hartanya diambil”.
Sedangkan Mujahid -murid Ibnu Abbas- mengatakan: “Jika seorang bapak mati meninggalkan isterinya, maka yang paling berhak terhadap isteri ayahnya ialah anaknya. Ia boleh menikahinya jika wanita itu bukan ibu kandungnya, atau menikahkannya dengan saudara atau keponakan yang dia sukai.” [5]

- Kebiasaan ‘gila’ lainnya yang dilakukan oleh orang Jahiliyah ialah ketika thawaf.
Al Imam Jalaluddin As Suyuti menyebutkan dalam tafsirnya:
“Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Muslim, An Nasa’i, Ath Thabary, Ibnul Mundzir,  Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan Al Baihaqy dalam Sunan-nya dari Ibnu Abbas, katanya: “Dahulu kaum wanita thawaf di baitullah dalam keadaan telanjang, mereka hanya menutup kemaluannya dengan secarik kain. Dalam thawafnya mereka mengatakan:
“Hari ini nampaklah seluruhnya atau sebagian, dan yang nampak hari ini takkan kurelakan”
Said bin Jubair mengatakan: “Orang-orang Jahiliyah biasa thawaf dalam keadaan telanjang. Mereka mengatakan: “Kami tidak akan thawaf dengan pakaian yang berlumuran dosa”. Maka datanglah seorang wanita yang mencampakkan pakaiannya kemudian thawaf, dan selama thawaf ia menutup kemaluannya dengan kedua tangannya sambil mengucapkan bait-bait diatas. Maka turunlah firman Allah berikut…” [6]
Demikianlah gambaran singkat akan kondisi wanita Arab zaman Jahiliyah. Tak jauh beda dengan perlakuan bangsa-bangsa lain terhadap mereka di kala itu.[7]

- Menurut masyarakat Cina kuno, wanita dianggap makhluk najis hasil perbuatan setan. Ia tak ubahnya seperti barang loakan yang dijual di pasar. Hak-haknya dirampas, tak ada warisan baginya dan tak boleh menggunakan harta.

- Dalam undang-undang Hammurabi [8], wanita tak ubahnya seperti hewan ternak milik seseorang. Karenanya, barangsiapa membunuh puteri orang, ia harus menyerahkan puterinya untuk dibunuh atau dimiliki orang tersebut.[9]

- Adapun di India, sebagaimana yang dituturkan Gustav Labon: “Wanita menganggap suaminya sebagai titisan Tuhan di bumi. Mereka yang belum bersuami atau janda dianggap sebagai makhluk buangan oleh masyarakat Hindu, yang artinya sejajar dengan binatang. Di antara janda malang tersebut ialah gadis yang ditinggal mati suaminya di usia muda. Kematian seorang Hindu merupakan petaka besar bagi istrinya, karena ia takkan mampu melanjutkan hidupnya setelah itu. Seorang wanita Hindu yang menjanda akan berkabung selamanya. Ia tak lagi dianggap sebagai manusia. Pandangannya dianggap membawa kesialan, dan semua yang disentuhnya dianggap najis. Yang terbaik baginya ialah mencampakkan dirinya dalam api, sebagaimana jasad suaminya dibakar. Sebab jika tidak, ia harus menanggung kehinaan dan penderitaan yang melebihi siksa api.” [10]

- Demikian pula dengan umat Nasrani yang terdahulu. Para pendeta tercengang menyaksikan kebejatan orang-orang Romawi…. Perzinaan merajalela,  kemungkaran ada di mana-mana, dan moral masyarakat menurun drastis. Mereka menganggap bahwa wanita lah yang bertanggung jawab atas ini semua karena terlalu membaur dengan masyarakat, bebas bermain sesukanya, dan bebas bergaul dengan lelaki manapun yang dia suka. Akhirnya mereka menetapkan bahwa pernikahan adalah kenistaan yang harus dijauhi, dan lelaki bujangan adalah lebih mulia di sisi Allah dari pada yang beristeri. Mereka mengumumkan bahwa wanita merupakan pintu setan, dan berhubungan dengannya adalah perbuatan kotor. Karenanya, kemuliaan hanya dapat diraih dengan tidak menikah.

- Pada abad ke-5 Masehi, sejumlah rohaniawan Kristen berkumpul untuk membahas dan mendiskusikan dalam ‘Perkumpulan Macon’; apakah wanita adalah jasad semata ataukah jasad dengan ruh yang bisa selamat dan celaka. Ternyata mayoritas mereka berpendapat bahwa wanita tidak memiliki ruh yang selamat, dan pendapat ini berlaku untuk seluruh kaum hawa kecuali Bunda Maria –yakni Maryam, ibunda Nabi Isa –.[11]

- Lalu pada tahun 586 M, –masa remaja Rasulullah– orang-orang Perancis mengadakan suatu muktamar untuk membahas apakah wanita termasuk manusia atau bukan? Apakah ia memiliki ruh atau tidak? Kalaupun memiliki ruh, maka itu ruh hewani atau ruh manusiawi? Kalaupun ruh manusiawi, maka apakah sederajat dengan laki-laki atau dibawahnya? Akhirnya mereka memutuskan bahwa wanita adalah manusia akan tetapi ia diciptakan untuk menjadi pelayan laki-laki saja.

- Jadi, agama Nasrani yang tersimpangkan yang dianut oleh masyarakat barat hari ini, hanya menganggap wanita sebagai sumber maksiat dan biang kejahatan semata. Wanita menurut mereka adalah salah satu pintu Jahannam, sebab ialah yang menjerumuskan laki-laki dalam berbagai dosa, dan darinya lah berbagai musibah menerpa seluruh manusia. Karenanya, ketika Raja Henry VIII berkuasa, parlemen Inggris mengeluarkan keputusan yang melarang wanita untuk membaca kitab ‘Perjanjian Baru’ –alias Bible,–  karena ia dianggap najis.

Semenjak itu, kaum wanita senantiasa terikat oleh Undang-undang Umum Inggris (English Common Law) hingga sekitar pertengahan abad lalu (± 1850 M), dan hanya segelintir dari mereka yang mendapat pengecualian [12]. Karenanya. wanita tak memiliki hak apa pun yang bersifat pribadi. Ia tak berhak terhadap harta yang diperolehnya dan tak berhak memiliki apa pun termasuk pakaian yang melekat di tubuhnya. Bahkan Undang-undang Inggris hingga tahun 1805 masih membolehkan suami untuk menjual istrinya. Undang-undang tersebut juga menetapkan bahwa harga jual seorang istri ialah 6 Pence (½ Shilling). Bahkan pernah terjadi seorang lelaki Inggris menjual isterinya seharga 500 Pound pada tahun 1931. Dalam pembelaan di Pengadilan, pengacaranya berdalih bahwa Undang-undang Inggris tahun 1801 telah menentukan bahwa harga seorang isteri adalah 6 Pence, dengan syarat isterinya setuju dijual.  Maka Mahkamah pun menjawab bahwa Undang-undang tersebut telah diganti tahun 1805 dengan peraturan yang melarang seorang suami untuk menjual atau memberikan isterinya. Setelah perdebatan yang cukup lama, akhirnya mahkamah memvonis si suami dengan penjara 10 bulan.

- Disebutkan pula dalam majalah ‘Hadharatul Islam’ tahun kedua hal 1078: “Tahun lalu ada seorang pria berkebangsaan Italia yang menjual isterinya kepada orang lain secara kredit. Namun ketika pembelinya menolak untuk membayar cicilan terakhir, lelaki itu pun membunuhnya”.

- Al Ustadz Muhammad Rasyid Ridha -rahimahullah- mengatakan: “Diantara peristiwa aneh yang diberitakan oleh sebagian surat kabar Inggris beberapa hari terakhir[13] ialah; bahwa di pedesaan Inggris masih ada para suami yang menjual isteri mereka dengan harga yang sangat murah, yaitu sekitar 30 Shilling! Beberapa surat kabar tersebut bahkan menyebutkan sebagian nama mereka.” [14]

Demikianlah kondisi wanita eropa yang menjadi panutan banyak orang. Kalau sekarang mereka gembar-gembor tentang HAM dan kebebasan wanita, berarti mereka lah ‘pahlawan kesiangan’ bin ‘maling teriak maling’. Memangnya siapa yang dahulu menjajah Indonesia selama 350 tahun dan memperbudak bangsa kita demi kemakmuran pribadi? Siapa yang melarang wanita mengenakan jilbab di luar rumah? Siapa yang membombardir Afghanistan, Iraq dan Sudan serta membantai ratusan ribu warga sipil? Siapa pula yang paling doyan ikut campur urusan dalam negeri negara lain? Bukankah negara-negara Eropa dibawah komando Amerika?

Mereka gencar mengecam para da’i yang memperjuangkan hijab sebagai perisai akan kesucian wanita. Padahal, masyarakat mereka yang rusak berantakan dan berada pada ujung kehancuran, jauh lebih pantas untuk dikecam agar berbenah secara total dari dalam. Namun begitulah kedengkian mereka yang membara dalam dada terhadap kaum muslimin yang agamis dan memelihara kehormatannya.

Ketika penentangan terhadap masuknya muslimah berjilbab ke perguruan tinggi dan tempat-tempat kerja demikian gencar, kita sama sekali tidak mendengar adanya penentangan terhadap penyimpangan seksual atau prostitusi, sebagaimana yang kita saksikan di negara-negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Jerman dan Eropa secara umum. Padahal data statistik mereka menunjukkan betapa tingginya tingkat penderitaan dan penyia-nyiaan yang sehari-hari dihadapi oleh wanita barat. Bagaimana mereka bisa bergerak dengan aman dan bebas, sedangkan diri mereka terancam oleh tindak perkosaan tiap enam menit saat berada di luar rumah!!?? [15]

Adapun pembunuhan, sama sekali tidak lebih ringan dari ini. Setiap wanita harus siap untuk dihabisi oleh suaminya, pacarnya, atau bahkan saudara kandungnya karena masalah sepele. Seperti jika ada diantara mereka yang ingin putus hubungan dengan pacarnya, maka tak ada jalan lain bagi si pacar selain membunuhnya, sebagai pelampiasan emosi atas perbuatan mantan pacarnya tadi. Lantas dimanakah kebebasan dan rasa aman yang mereka dengung-dengungkan selama ini? Bukankah lebih penting bagi mereka untuk membenahi ‘rumah mereka’ dan membersihkannya dari setiap kenistaan dan kekejaman, sebelum menjadi relawan untuk membersihkan rumah orang?
Marilah sejenak kita biarkan angka-angka berbicara mengenai mereka…

Tindak perkosaan
- Di Amerika, resiko seorang wanita untuk diperkosa cukup tinggi (lihat indeks). Jumlah mereka yang melaporkan diri sebagai korban perkosaan ke polisi pada tahun 1996 tercatat 96.250 orang. Sedangkan yang tidak melaporkannya diperkirakan mencapai 310.000 orang. Adapun di Kanada, tercatat ada sebanyak 20.530 kasus perkosaan dalam tahun itu, dan di sana ada 150 pusat rehabilitasi korban perkosaan bagi mereka yang diperkosa.
- Dalam skup yang lebih luas, di Australia terdapat 75 pusat rehabilitasi korban perkosaan, dan di Jerman tercatat sebanyak 5527 kasus perkosaan. Sedangkan di komunitas Yahudi Israel terdapat 7 pusat rehabilitasi korban perkosaan.
Demikianlah angka-angka berbicara tentang mereka.

Pembunuhan wanita:
- Di Amerika, tiap harinya sepuluh wanita terbunuh di tangan suami atau pacar mereka sendiri. 75% dari kasus pembunuhan ini terjadi setelah si wanita putus hubungan dengan pacarnya, atau minta cerai dari suaminya. Adapun di Rusia, tercatat bahwa separuh dari kasus pembunuhan wanita dilakukan oleh suami atau pacar mereka sendiri.

Kasus Aborsi
- Perseteruan antara pendukung dan penentang aborsi hingga kini terus berlangsung di Amerika. Hal ini besar sekali pengaruhnya terhadap masyarakat, sampai-sampai mereka yang mencalonkan diri sebagai gubernur pun tak ketinggalan untuk menyinggung masalah aborsi dalam kampanye mereka. Krisis ini umumnya menyangkut anak-anak hasil perzinaan yang kadang meruncing di antara mereka hingga menyebabkan kontak senjata. Aborsi merupakan ancaman serius bagi eksistensi wanita, setiap tahunnya tercatat 200 ribu wanita meninggal dunia akibat percobaan aborsi yang ilegal.

Perceraian
- Tentang perceraian, nampaknya telah menjadi rahasia umum. Mereka nyaris tak pernah mengumumkan pernikahan kecuali sesaat kemudian mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Prosentase perceraian di Amerika pada tahun 1990 saja mencapai 55%, di Perancis 32%, di Inggris 42%, dan di Swedia 44%.
Inilah realita wanita barat moderen tanpa dibesar-besarkan, dan inilah hakikat yang sebenarnya. Kebebasan yang mereka kampanyekan selama ini hanyalah bualan besar dan omong kosong belaka. Negeri mereka ternyata lebih menyeramkan untuk dihuni dari pada hutan belantara, lantas dimanakah kebebasan itu… dimana kedamaian… dimana pula ketentraman jika kehormatan, harta dan jiwa wanita terancam setiap saat.
Kesimpulannya: siapa yang lebih layak untuk dibebaskan: wanita kita atau wanita mereka? [16]



==========================
Referensi:
[1] Yaitu masa senggang antara seorang Rasul dengan Rasul berikutnya sebelum datangnya Islam. Atau keadaan masyarakat Arab sebelum Islam (lihat Al Mu’jamul wasith hal 144).
[2] Sebagaimana firman Allah tabaraka wa Ta’ala : “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang sampai kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu” (An Nahl: 58-59).
[3] H.R. Bukhari (no 4629) dan Muslim (no 1479).
[4] Yang maknanya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
[5]  Lihat Tafsir Ath Thabary cet. Muassasah Ar Risalah, 8/106.
[6]  Lihat Ad Durrul Mantsur cet. Darul Fikr, 3/439. Ayat yang dimaksud ialah (Q.S. Al A’raf: 31-32).
[7] Paragraf ini dan yang berikutnya dinukil dari berbagai sumber, diantaranya: Al Mar-atu bainal Fiqhi wal Qonun tulisan Dr. Musthafa As Siba’i (hal 13-22); Maadza ‘anil Mar-ah? tulisan Dr. Nuruddien ‘Itr (hal 13-16); Al Mar-atul Muslimah tulisan Wahby Ghawaji (hal 25-27); Al Mar-atu wa Makaanatuha tulisan Al Hushain (hal 11-17); Al Mar-atul ‘Arabiyyah tulisan Syaikh Abdullah Afify; dan Al Hijab tulisan Al Maududi (hal 12-25) dengan perantaraan kitab ‘Audatul Hijab tulisan Syaikh Muhammad Isma’il Al Muqaddami (2/41-47). Sebagian dari data di atas juga disebutkan dalam buku-buku ensiklopedi seperti Encyclopedia Britannica, Encyclopedia Biblica dan yang lainnya.
[8]  Nama Raja Babilonia yang berkuasa sekitar abad 18 sebelum Masehi. Kekuasaannya terbentang dari Teluk Persia ke utara melewati sungai Eufrat dan Tigris, dan ke barat hingga laut Mediterania. Ia merupakan seorang militer dan negarawan ulung yang terkenal dengan undang-undangnya tersebut (Microsoft Encarta Encyclopedia Standard 2003).
[9]  ‘Audatul Hijab 2/43.
[10] Ibid 2/43-44, dinukil dari Hadhaaratul Hind, tulisan Gustav Labon (hal 644-646). Syaikh Muhammad Al Muqaddami mengatakan bahwa kezaliman terhadap wanita India tersebut baru dihapus setelah masuknya Islam kesana, yang konon hampir menguasai seluruh wilayah India di zaman Raja Aorank Zeib, hingga akhirnya jatuh di tangan kolonial Inggris.
[11] Ibid hal 45, dinukil dari: Al Mar-atu fil Qur’an, hal 54.
[12] Yaitu mereka yang digolongkan sebagai orang terpandang dan warga negara menurut undang-undang. Bahkan pada tahun 1567, Parlemen Inggris mengeluarkan keputusan bahwa kaum wanita tidak boleh diberi kekuasaan apa pun atas apa pun (‘Audatul Hijab 2/46).
[13]  Dengan mengingat bahwa kitab beliau dicetak tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1351 H. Artinya pengaruh masa lalu masih ada di Inggris sampai lima puluh tahunan silam.
[14]  Dinukil dari Huququn Nisa’ fil Islam, tulisan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Mengomentari hal ini, DR. Nuruddien ‘Itr mengatakan: “Kejadian semisal pernah diceritakan oleh temanku yang baru saja menyelesaikan program pasca sarjananya di Amerika Serikat. Ia mengisahkan bahwa dalam masyarakat Amerika ada sebagian kalangan yang saling pinjam-meminjam isteri dalam jangka waktu tertentu, kemudian masing-masing mengambil kembali isteri yang dipinjamkannya. Persis seperti orang desa yang meminjamkan ternaknya, atau orang kota yang meminjamkan perkakas rumah tangganya”, dinukil dari: Maadza ‘anil Mar-ah? hal 15-16.
[15]  Angka ini didapat dari jumlah rata-rata kasus perkosaan tiap hari di Amerika antara tahun 1996-2005, yaitu 256 kasus. Kalau sehari semalam adalah 1440 menit, maka hasilnya 1440:256=5,625 yang dibulatkan jadi 6. Artinya tiap enam menit terjadi sekali perkosaan (lihat lampiran 1).
[16] Disadur dari artikel berjudul: Ayyuhuma aula bit tahrir: al mar’atu ladaina am ladaihim?!, oleh Jilnar Fuhaim dengan sedikit penyesuaian (www.ikhwanonline.com). Atau di artikel yang berjudul “Hijab & Kehormatan Wanita” oleh Abu Hudzaifah Al Atsary.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar